Minyak Kelapa Sawit Bisa Jadi Alternatif Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan
Sinar Mas Agribusiness & Food di bawah pimpinan Franky Oesman Widjaja memiliki keyakinan besar dalam pengembangan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit sebagai langkah menuju penerbangan yang lebih ramah lingkungan.
Franky berbicara tentang hal ini dalam sebuah diskusi bertajuk "Bahan Bakar Masa Depan untuk Solusi Industri Rendah Karbon" yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia) di Jakarta pada tanggal 8 September.
Dalam penjelasannya, Franky menyatakan bahwa minyak kelapa sawit adalah salah satu komoditas alam terbesar di Indonesia. Ini tidak hanya memberikan pekerjaan bagi lebih dari 17 juta orang, terutama di pedesaan, tetapi juga menjadi kontributor utama ekspor Indonesia, dengan nilai sekitar USD 40 miliar pada tahun 2022. Keunggulan minyak kelapa sawit terletak pada produktivitasnya yang tinggi, mampu menghasilkan lima hingga 10 kali lebih banyak minyak per hektar perkebunan dibandingkan minyak nabati lainnya.
Franky menyoroti bahwa dengan hanya menggunakan delapan persen dari total lahan yang digunakan untuk produksi minyak nabati, Indonesia dapat menyuplai setidaknya 40 persen dari kebutuhan minyak nabati dunia saat ini. Ini menunjukkan potensi besar minyak kelapa sawit sebagai solusi berkelanjutan dalam menghadapi kebutuhan dunia akan bahan bakar nabati rendah karbon.
Franky juga memaparkan upaya dekarbonisasi ekonomi Indonesia melalui program B35, yang merupakan kebijakan pencampuran biodiesel terbesar di dunia dengan target penyaluran hingga 13,15 juta kiloliter biodiesel pada tahun ini. Ada potensi untuk meningkatkan efisiensi melalui teknologi seperti hydrotreated vegetable oil.
Pendekatan yang diambil oleh Franky sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam industri penerbangan. Pada kesempatan yang sama, President Airbus Asia-Pacific, Anand Stanley, menyatakan komitmen Airbus untuk mengurangi konsumsi bahan bakar sebesar 80% selama 50 tahun terakhir.
Mereka juga berkomitmen untuk mengurangi jejak karbon dari seluruh siklus produksi bahan bakar, bukan hanya dari hasil pembakarannya di udara.
Anand menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Airbus dan perusahaan penerbangan lainnya adalah ketersediaan bahan bakar penerbangan ramah lingkungan yang masih terbatas.
Mereka berharap pada tahun 2030 seluruh penerbangan dapat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan ini, Airbus berharap dapat bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, khususnya di kawasan Asia-Pasifik, untuk terus berinovasi dalam pengembangan bahan bakar penerbangan ramah lingkungan dan memastikan kapasitas produksi memenuhi kebutuhan.
Sebelumnya, CEO Pertamina, Nicke Widyawati, juga menyatakan bahwa mencapai bahan bakar rendah karbon memerlukan pendekatan yang komprehensif melibatkan pemerintah, sektor swasta, investor, dan masyarakat.
Dia menekankan pentingnya terus berupaya, meskipun ada biaya tinggi, dalam menciptakan bahan bakar rendah karbon. Dengan pengembangan teknologi, ekosistem yang mendukung, regulasi yang tepat, dan keterlibatan masyarakat, tantangan ini dapat diatasi dalam 10 tahun mendatang.
Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food, Franky Oesman Widjaja (kedua dari kiri) saat menjadi panelis di acara Indonesia Sustainability Forum, Rabu (7/9/2023) di Jakarta.